Sejarah banjir di Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis merupakan cerita panjang yang menarik perhatian banyak pihak. Banjir rutin yang melanda tiap tahun telah menciptakan tantangan tersendiri bagi para petani, yang sering kali merugi akibat kerusakan lahan pertanian.
Catatan sejarah dari koran Hindia Belanda, Bredasche Courant, pada tahun 1935 mencerminkan keseriusan pemerintah waktu itu dalam menangani masalah ini. Mereka menciptakan rencana untuk mengurangi angka pengangguran, salah satu langkahnya adalah dengan memperbaiki Rawa Lakbok yang dikenal sering terendam banjir.
Sejarah Upaya Perubahan di Rawa Lakbok
Pemerintah kala itu memproyeksikan anggaran sebesar 1,5 juta gulden untuk perbaikan wilayah ini, dengan dana awal sebesar 100.000 gulden sudah disiapkan dari pemerintah pusat. Namun, tantangan sebenarnya terletak pada dampak antarpulau antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Koordinasi antara dua Gubernur diperlukan untuk memecahkan masalah ini, terutama terkait penolakan pembangunan tanggul Sungai Citanduy, yang dapat menyebabkan banjir di wilayah Jawa Tengah. Situasi ini menunjukkan kompleksitas dalam perencanaan infrastruktur yang melibatkan banyak pihak.
Normalisasi dan Perbaikan Infrastruktur
Menurut laporan De Sumatra Post, proses normalisasi di wilayah Lakbok mulai dilaksanakan pada tahun 1936 dengan anggaran awal sebesar 70.000 gulden. Target perbaikan terhadap lahan yang dikenal luas dan sering terendam banjir terbilang ambisius, dengan estimasi waktu 6 hingga 8 tahun untuk menyelesaikan seluruh proyek.
Pemerintah kemudian menggagas beberapa tahapan untuk menyelesaikan masalah ini. Pertama, normalisasi Sungai Citanduy yang mencakup pembangunan tanggul dan pengubahan jalur sungai agar lebih lurus, dengan tujuan mempercepat aliran air ke lautan. Kedua, meningkatkan saluran pembuangan dari irigasi ke Sungai Citanduy, yang diharapkan dapat mengendalikan arus air lebih efektif. Ketiga, proses perbaikan sistem irigasi agar air di lahan pertanian bisa lebih cepat surut selama musim hujan.
Diperkirakan seluruh upaya tersebut memerlukan anggaran total sekitar 11 juta gulden, sebagaimana dicatat dalam Het Vaderland pada tahun yang sama. Hal ini menegaskan bahwa masalah banjir bukanlah sekadar tantangan lokal, melainkan juga memerlukan strategi jangka panjang dan komprehensif.
Pada tahun 1938, Gubernur Jawa Barat melakukan tinjauan ke lokasi Rawa Lakbok bersama Kepala Pengairan. Hasil peninjauan menunjukkan perlunya sistem yang lebih baik dalam pengelolaan perairan untuk mencegah banjir, terutama karena adanya lahan gambut di daerah tersebut yang menyebabkan permukaan air lebih tinggi saat hujan.
Konsekuensi Ekonomi dan Sosial dari Banjir
Tidak dipungkiri, kondisi banjir yang terus berulang membawa banyak dampak negatif. Banjir merusak hasil panen petani dan menyebabkan mereka tidak dapat merasakan keuntungan dari usaha pertanian. Dalam laporan De Locomotief pada tahun 1939, kekecewaan para petani kian mengemuka, menyusul kerugian yang mereka alami akibat gagal panen.
Merespons permasalahan ini, pemerintah setempat memutuskan untuk membebaskan pajak tahun 1939 kepada pemilik sawah di Rawa Lakbok sebagai langkah meringankan beban. Ini adalah upaya sederhana tetapi berarti untuk membantu para petani dalam situasi yang sulit.
Dengan berbagai langkah yang telah dilakukan, dari normalisasi sungai hingga pembebasan pajak, masih banyak yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi masalah yang berkelanjutan ini dengan harapan menciptakan solusi yang lebih permanen. Banjir adalah dampak serius yang memerlukan perhatian dan kerja sama banyak pihak agar dapat ditangani secara efektif dan berkelanjutan.