www.fokusnasional.id – Parade “Kuda Kosong” merupakan salah satu tradisi yang kaya akan nilai sejarah dari Kota Cianjur, Jawa Barat. Dalam perayaan ini, kuda diarak tanpa penunggangnya pada momen-momen tertentu, yang menunjukkan kekayaan kebudayaan serta kearifan lokal masyarakat setempat. Meskipun sudah berlangsung sejak lama, sejarah di balik tradisi ini masih kurang diketahui oleh banyak orang.
Keterkaitan antara tradisi ini dengan nilai-nilai sosial dan sejarah menjadikannya menarik untuk dicermati. Memahami asal-usul “Kuda Kosong” membawa kita kepada dua versi sejarah yang berkembang, baik melalui cerita lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi maupun catatan sejarah dalam bentuk naskah kuno. Mari kita telusuri lebih dalam tentang keduanya.
Dalam tradisi ini, bukan hanya sekadar festival, tetapi juga ada makna yang mendalam bagi masyarakat Cianjur. Setiap detil dalam parade membawa cerita dan simbol yang mencerminkan perjuangan serta keberanian rakyat Cianjur dalam sejarahnya. Lanjutkan membaca untuk menggali lebih banyak tentang latar belakang dari tradisi Kuda Kosong ini.
Jejak Sejarah di Balik Keberadaan Kuda Kosong
Asal usul “helaran kuda kosong” seringkali dikaitkan dengan sejarah lisan masyarakat setempat. Dalam cerita yang sudah dipercayai secara turun-temurun, tradisi ini berakar dari peristiwa penyerahan upeti oleh pemerintahan Cianjur kepada Kesultanan Mataram. Di bawah pemerintahan Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II, upeti tersebut diiringi dengan tindakan cerdas yang menjadi bagian dari sejarah Cianjur.
Waktu itu, Bupati Cianjur diharuskan memberikan hasil bumi sebagai simbol penghormatan. Dalam narasi lokal, Bupati tersebut mengklaim bahwa tanah Cianjur tidak kaya hasil pertanian dan hanya menyerahkan sebutir beras, cabai, dan lada. Pernyataan ini bukan hanya langkah diplomasi, tetapi juga menunjukkan keberanian rakyat Cianjur dalam perjuangan melawan penjajahan.
Terpesona oleh kecerdasan Bupati dalam bernegosiasi, Sunan Mataram memberikan hadiah seekor kuda jantan. Hadiah ini, bagi masyarakat Cianjur, bukan sekadar kuda, tetapi simbol kehormatan dan pengakuan atas martabat mereka dalam sejarah. Kuda tersebut kemudian diarak dengan penuh kemeriahan, mengukuhkan pentingnya tradisi ini dalam kehidupan masyarakat setempat.
Makna Pemberian Kuda Sebagai Sebuah Pengakuan
Pemberian kuda oleh Sunan Mataram menjadi simbol kehormatan bagi Dalem Pamoyanan dan rakyat Cianjur. Tradisi ini mendapatkan maknanya yang lebih dalam, mencerminkan semangat juang yang ditanamkan oleh Dalem Pamoyanan kepada rakyatnya. Hingga 50 tahun setelah peristiwa tersebut, masyarakat Cianjur terlibat dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda di bawah komando Dalem Cianjur Rd. Alith Prawatasari.
Proses perlawanan ini melibatkan ribuan rakyat dari berbagai desa yang bersatu padu. Dalam catatan sejarah, bahkan kabarnya pasukan Belanda pernah mundur ke Batavia sebagai akibat dari perlawanan yang begitu kuat dari masyarakat Cianjur. Ini menunjukkan bahwa tradisi ini menjadi bagian dari identitas kolektif perjuangan rakyat Cianjur yang tidak pernah padam.
Berdasarkan informasi dari sesepuh, setelah peristiwa diplomatik antara Pamoyanan dan Kesultanan Mataram, Cianjur tidak lagi wajib membayar upeti. Hal ini menambah lapisan makna bagi tradisi Kuda Kosong, sebagai simbol perjuangan dan kebangkitan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka.
Versi Naskah Babad Cikundul dan Aspek Metafisika
Penggalian cerita di balik Kuda Kosong tidak berhenti pada cerita lisan. Naskah Babad Cikundul yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI memberikan perspektif yang berbeda. Pada pupuh ke-35 dan 36, disebutkan bahwa kuda dalam tradisi ini diyakini ditunggangi oleh leluhur agung yang dikenal sebagai Eyang Surya Kancana. Ini menunjukkan adanya hubungan antara tradisi dan aspek spiritual dalam kehidupan masyarakat.
Dalam versi ini, utusan Pamoyanan memang tercatat menghadap ke Keraton Mataram, tetapi tidak ada kisah tentang hadiah seekor kuda. Sebagai gantinya, hadiah yang didapat adalah dua benda penting, yaitu pisalin sapangadeg dan pendok emas. Ini menunjukkan bahwa kuda bukanlah satu-satunya fokus, melainkan ada simbol-simbol lain yang lebih mendalam.
Versi Babad menyiratkan bahwa sejak peristiwa tersebut, Cianjur justru diwajibkan membayar upeti secara reguler. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara Cianjur dan Kesultanan Mataram cukup kompleks. Di samping itu, utusan Cianjur juga akan berangkat bersama rombongan Dipati Ukur dari Bandung, menandakan adanya kolaborasi yang erat antara daerah di Jawa Barat.
Tradisi Kuda Kosong yang Tetap Lestari di Cianjur
Walau sempat mengalami penolakan oleh beberapa pihak yang menganggapnya sebagai tradisi musyrik, Kuda Kosong tetap bertahan. Kini, tradisi ini justru semakin menjadi bagian penting dalam perayaan budaya masyarakat Cianjur. Pada perayaan Hari Jadi Cianjur setiap 12 Juli, tradisi ini dihidupkan kembali, sering kali bersamaan dengan perayaan HUT Kemerdekaan RI.
Dalam acara tersebut, kuda-kuda yang diarak dihias secara megah, tetap tanpa penunggang, melambangkan penghormatan kepada leluhur yang dipercaya menaungi masyarakat. Penuntun kuda mengenakan pakaian adat yang megah, lengkap dengan aksesoris seperti ikat kepala dan sandal tradisional, menggambarkan kekayaan budaya yang dimiliki.
Barisan pengiring tersebut terdiri dari prajurit yang membawa upeti, pohon saparantu sebagai simbol kesuburan, serta keris pusaka. Elemen lain seperti tombak dan umbul-umbul turut menambah keindahan prosesi, memperkaya makna di balik reaksi masyarakat terhadap acara ini. Kuda Kosong cerminkan penerusan nilai-nilai keberanian, kebijaksanaan, dan penghormatan yang mendalam terhadap leluhur.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam terhadap sejarah Kuda Kosong, kita dapat melihat bahwa tradisi ini lebih dari sekadar festival. Melalui arak-arakan dan pementasan, Kuda Kosong mengajarkan nilai-nilai luhur yang terus hidup di tengah masyarakat, menjadi pengingat akan perjalanan panjang sejarah dan budaya Cianjur. Semoga pemaparan ini menambah wawasan dan pemahaman kita semua tentang tradisi yang sudah ada sejak lama ini.