Banten merupakan provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Kawasan seluas sekitar 9.353 kilometer persegi ini menyimpan banyak catatan historis yang menarik. Di antara beragam kisahnya, terdapat sejarah Nyimas Ratu Ayu Kawunganten yang begitu melekat dalam ingatan masyarakat.
Bagaimana tidak, Nyimas Kawunganten bukan sekadar tokoh legenda. Lebih dari itu, sosoknya menjadi bagian penting bagi perkembangan Banten di masa lampau. Bahkan, kemajuan daerah ini kini tak lepas dari setiap jasa-jasanya.
Menelusuri Lebih Jauh tentang Sejarah Nyimas Ratu Ayu Kawunganten
Catatan sejarah mencatat bahwa Nyimas Kawunganten adalah putri dari seorang raja yang berkuasa di Banten. Ia merupakan anak dari Permadi Puti, yang memiliki pengaruh kuat pada masanya. Suatu hari, seorang penguasa kerajaan lain, yakni Ratu Krawang, menghadap seorang tokoh agama, Sunan Gunung Jati, untuk masuk Islam. Pada waktu itu, Sunan Gunung Jati sangat aktif dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Menariknya, Ratu Krawang, selain ingin memeluk Islam, juga membawa Nyimas Kawunganten serta. Saat pertemuan pertama terjadi, Sunan Gunung Jati langsung terpesona dengan kecantikan putri raja tersebut. Ratu Krawang kemudian menjelaskan identitas Nyimas, yang mengaku sebagai keturunan Raja Cangkuang. Sunan Gunung Jati pun lantas melamarnya dan permintaan tersebut disambut baik oleh mereka.
Pernikahan keduanya berlangsung dengan penuh khidmat dan melahirkan dua anak. Mereka adalah Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingking, yang lebih dikenal sebagai Hasanuddin.
Peran Nyimas Kawunganten dalam Berdirinya Pemerintahan Banten
Nyimas Ratu Ayu Kawunganten sebagai istri Sunan Gunung Jati dikenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga perannya yang sangat signifikan dalam melahirkan tokoh-tokoh penting bagi berdirinya pemerintahan Banten. Pangeran Sabakingking, atau Sultan Maulana Hasanuddin, adalah anaknya yang sangat terkenal sebagai pendiri Kesultanan Banten pada tahun 1527, setelah berhasil merebut Banten Girang dari Pucuk Umun.
Di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Hasanuddin, Banten mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banten berhasil menjadi kawasan maritim yang paling berpengaruh di Nusantara. Sultan juga memindahkan pusat pemerintahan dari pelosok Banten Girang menuju pesisir untuk memudahkan hubungan dagang dengan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda.
Dalam kawasan teluk Banten, Sultan Hasanuddin membangun tiga basis pokok yang penting: masjid sebagai pusat kegiatan sosial keagamaan, Kraton Surosowan untuk kepentingan pemerintahan, dan pelabuhan sebagai sentra ekonomi. Berkat semua kebijakan ini, Banten berhasil menjadi bandar besar yang menghubungkan pedagang dari Arab, India, dan Cina.
Keberaniannya Membuka Hutan untuk Pemukiman Masyarakat
Salah satu sisi menarik lainnya dari sejarah Nyimas Ratu Ayu Kawunganten adalah keberaniannya yang luar biasa. Ia dikenang karena jasanya membuka wilayah hutan Lebak Sungsang, yang sebelumnya merupakan hutan lebat, menjadi wilayah pemukiman yang produktif. Kini, daerah tersebut dikenal dengan nama Kedokanbunder di Kabupaten Indramayu.
Terdapat cerita unik di balik pergantian nama dari Lebak Sungsang menjadi Kedokanbunder. Ketika Nyimas Kawunganten selesai membuka lahan, seorang pangeran dari kerajaan Campa datang untuk menguji kesaktiannya. Nyimas menolak tantangan tersebut, tetapi sang raja tetap memaksa hingga terjadi pertarungan. Dalam keadaan terancam kalah, Nyimas mendapat bantuan berupa senjata golok dari Ki Kuwu Sangkan. Ia menyabetkan golok ke tanah, yang membuat raja jatuh terduduk, sehingga area bekas jatuhnya raja membentuk bundaran tanah yang kemudian dinamai Kedokanbunder.
Makamnya Menjadi Tempat Wisata Sejarah dan Religi
Nyimas Ratu Ayu Kawunganten wafat meninggalkan banyak warisan sejarah. Setelah berpulang, ia dimakamkan di wilayah Kedokanbunder, yang sebelumnya ia buka dengan penuh pengorbanan. Menariknya, situs makamnya kini menjadi tempat ziarah. Lokasi tersebut hampir tak pernah sepi pengunjung, yang banyak di antaranya berasal dari luar Kabupaten Indramayu.
Selain makam, terdapat pula sumur tua peninggalan Nyimas Kawunganten yang dikenal dengan sebutan Sumur Gede. Dalam sejarah yang mengaitkan Nyimas, air di sumur tersebut dikatakan tidak pernah surut, sehingga banyak masyarakat meyakini bahwa sumur tersebut sebagai penyelamat saat musim kemarau panjang. Kisah-kisah seperti ini membuat kehadiran Nyimas Ratu Ayu Kawunganten terasa tetap hidup dan relevan bagi masyarakat hingga hari ini.