Bagi masyarakat Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, upacara adat Babarit tentu sudah tidak asing lagi. Babarit adalah tradisi yang mengakar kuat dalam kehidupan sosial serta spiritual masyarakat setempat. Bahkan, tradisi Sunda ini merupakan warisan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Setiap tahunnya, berbagai desa di wilayah Kuningan menggelar upacara ini dengan penuh khidmat dan semarak. Meski zaman terus berkembang, tradisi ini tetap lestari sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, serta ungkapan syukur atas karunia yang dilimpahkan oleh Sang Pencipta.
Memahami Lebih Jauh Tentang Upacara Adat Babarit
Secara etimologis, nama Babarit berasal dari bahasa Sunda yang terdiri dari dua unsur kata. Istilah “babar” berarti “dilahirkan” dan “ririwit” merujuk pada “kesusahan”. Apabila kita gabungkan, makna filosofisnya mengarah pada “ngababarkeun ririwit”.
Dalam bahasa Indonesia, ini berarti “menghilangkan kesusahan”. Tradisi ini mencerminkan harapan dan doa masyarakat agar senantiasa terhindar dari segala bentuk kesulitan, penyakit, dan malapetaka. Selain itu, ada juga pemahaman lain yang berkembang di masyarakat mengenai asal-usul nama Babarit. Dalam versi lain, kata Babarit merupakan kepanjangan dari “Ngabubarkeun Weweri”, yang berarti usaha untuk mengusir penyakit atau gangguan. Dengan demikian, Babarit juga memiliki pemahaman sebagai ritual perlindungan kolektif agar desa dan warganya terbebas dari musibah.
Uniknya, meskipun tiap desa di Kabupaten Kuningan mempunyai interpretasi dan cara pelaksanaan yang berbeda-beda, tetapi tujuannya tetap sama: sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki, kesehatan, dan keselamatan yang telah diterima sepanjang tahun.
Waktu Pelaksanaan yang Beragam
Secara umum, upacara adat Babarit biasanya berlangsung satu kali dalam setahun. Namun, waktu penyelenggaraannya bisa sangat bervariasi antar desa, tergantung pada tradisi lokal masing-masing. Sejumlah kawasan melaksanakannya bersamaan dengan peringatan hari jadi desa, sementara yang lain menyesuaikannya dengan bulan-bulan penting dalam penanggalan Islam, seperti bulan Dzulqa’dah, Suro (Muharram), Mulud (Rabiul Awal), atau bahkan di bulan Ramadhan.
Tak jarang, beberapa desa mengadakan Babarit di luar bulan-bulan tersebut. Salah satu alasannya adalah penyesuaian pengadaan dengan hasil panen atau kondisi sosial masyarakat setempat. Fluktuasi dalam waktu pelaksanaan ini mencerminkan kekayaan budaya dan kebiasaan yang unik di setiap daerah.
Prosesi Upacara Babarit
Menilik pada prosesinya, upacara adat Babarit biasa terkemas dalam bentuk kegiatan kebudayaan dan keagamaan, yang melibatkan seluruh elemen masyarakat desa. Acara ini kerap berlangsung di alun-alun desa, halaman masjid, atau balai. Prosesinya banyak diwarnai dengan kegiatan sedekah bumi, karnaval budaya, serta pentas kesenian rakyat.
Tumpeng, hasil bumi, dan makanan tradisional lainnya akan dibawa dan dipersembahkan sebagai simbol rasa syukur. Biasanya, setelah doa bersama dan acara resmi lainnya, acara berlanjut dengan prosesi penyembelihan domba kendit. Di Desa Sagarahiang, misalnya, juga dilakukan ziarah ke makam Mbah Bewo dan Syekh Maulana, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap leluhur.
Daya tarik paling menonjol dari Babarit adalah kehadiran kesenian Tayuban Sunda, sebuah karya seni yang menghadirkan musik khas seperti kendang, gong, bonang, saron, dan gambang. Musik serta tarian menjadi sarana ekspresi masyarakat yang turut serta membangun suasana kegembiraan. Di dalam Babarit juga mementaskan tujuh lagu tradisional wajib yang sarat nilai dan pesan moral. Lagu-lagu tersebut di antaranya:
- Lahir Batin – mengingatkan untuk selalu berbuat baik dan beribadah kepada Yang Maha Kuasa.
- Golewang – menanamkan pentingnya taat terhadap hukum agama dan negara.
- Titi Pati – mengajak untuk berhati-hati dalam ucapan dan tindakan.
- Tapi Asih – menekankan pentingnya kasih sayang antar sesama.
- Renggong Buyut
- Goyong-goyong
- Raja Pulang
Masing-masing lagu di atas memiliki makna kearifan lokal yang begitu mendalam dan relevan dengan kehidupan masyarakat.
Upaya Menjaga Warisan Leluhur
Para tetua di Kabupaten Kuningan menegaskan bahwa upacara Babarit bukan sekadar seremoni tahunan. Lebih dari itu, tradisi ini merupakan manifestasi kuat dari hubungan harmonis antara manusia, alam, leluhur, dan Sang Pencipta. Dalam tradisi ini terkandung nilai spiritual, sosial, dan budaya yang saling menguatkan.
Pelestarian upacara adat Babarit berarti menjaga jati diri dan kearifan lokal masyarakat Sunda, khususnya seluruh warga Kuningan. Ini juga menjadi penting agar masyarakat tidak melupakan adat-istiadat di tengah zaman yang terus berkembang. Dengan melestarikan tradisi ini, masyarakat Kuningan berupaya menjaga warisan leluhur dan memperkuat identitas budaya, sambil tetap mengikuti dinamika perubahan zaman.
